Juni 2012, saat mendapatkan sebuah tugas, saya menyempatkan mengunjungi sebuah Desa Tenun di Kabupaten Ende yang berlokasi di Pulau Flores. Adalah Kelurahan Onelako Kec. Ndona
merupakan salah satu lokasi dimana warganya
masih menjaga tradisi tenun ikat tradisional secara turun temurun. Terdapat
sebuah kelompok tenun ikat tradisional yang memiliki nama “Bou Sama Sama” yang
memiliki arti Kumpul Sama Sama. Menurutku, kelompok ini patut mendapatkan sebuah apresiasi karena masih mempertahankan budaya tenun ikat tradisional
ditengah-tengah gempuran produk tekstil modern. Selain mempertahankan tradisi yang telah
diturunkan, tenun ikat tradisional merupakan salah satu sumber pendapatan yang dapat
diandalkan. Proses tenun ikat lebih banyak melibatkan kaum perempuan
dibandingkan laki-laki, sedangkan keterlibatan untuk laki-laki lebih kepada
mencari bahan baku untuk ramuan atau adonan pada proses pewarnaan alami, selain
itu untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, para laki-laki juga bekerja
bertani.
Kegiatan pembuatan tenun
ikat tradisional dengan menggunakan proses pewarnaan alami tidak semudah yang dibayangkan,
karena membutuhkan proses dan waktu yang panjang, total waktu yang dibutuhkan
untuk menjadi sebuah kain tenun ikat dengan pewarnaan alami dapat memakan waktu
hingga 2 bulan. Beberapa rangkaian kegiatan tenun ikat yaitu merangkai
benang-benang untuk diikat menjadi satu rangkaian, sehingga akan membentuk sebuah
motif tenun khas Ende. Setelah motif terbentuk, kemudian dilanjutkan dengan pewarnaan dengan
mencelupkan kain tersebut berkali-kali
pada adonan pewarna alami yang telah dipersiapkan sebelumnya. Selain itu
alat-alat tradisional yang digunakan beragam, seperti olawoe, alat ini digunakan untuk menggulung benang menjadi bola
sebelum digunakan, meka, alat ini
digunakan untuk membuat rangkaian benang yang dililitkan pada meka hingga meka tersebut tertutup oleh lilitan benang (meka memiliki ukuran yang bermacam-macam), ndao go’a, alat ini dipergunakan untuk menaruh lilitan benang yang
telah terbentuk di meka yang kemudian
dilakukan pengikatan untuk pembuatan motif.
Bahan pewarna yang digunakan
dalam proses pewarnaan berasal dari bahan yang diambil dari alam, seperti warna
merah alami diambil dari kulit akar mengkudu (Morinda sp), warna biru alami diambil dari daun Tarum (Indigofera tinctoria) selain itu untuk
memperkuat warna – warna tersebut agar tetap cerah dan tidak mudah luntur
(mordant), penenun tradisional biasa menggunakan daun gugur Loba Manu (Symplocos fasciculata) yang ditumbuk sehingga menjadi serbuk. Masih
terdapat bahan-bahan alami lainnya yang digunakan dalam proses pewarnaan,
seperti minyak Kemiri (Aleurites
moluccana) yang digunakan dalam proses perminyakan yang dicampurkan dengan
daun loba, daun pacar dan daun widuri dengan cara pencelupan hingga minyak
kemiri tersebut habis, maksud dari perminyakan ini agar warna dapat cepat
masuk.
Tradisi tenun ikat
tradisional perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak, karena tradisi ini
merupakan sebuah ikon yang dapat ditonjolkan untuk Kabupaten Ende dan bahkan memiliki
nilai jual hingga ke mancanegara, menurut penenun tradisional di Onelako bahwa
telah banyak wisatawan asing yang datang untuk melihat proses tenun ikat
tradisional. Wisatawan dari Jepang, Inggris, dan Amerika pernah datang untuk
menyaksikan kegiatan tenun ikat tradisional, dan wisatawan tersebut lebih
menyukai tenun ikat tradisional yang menggunakan pewarna alami dibandingkan
dengan penggunaan pewarna tekstil seperti naptol meskipun warna kain tenun
dengan pewarna alami tidak secerah kain tenun dengan pewarna tekstil, selain
itu, hasil tenun ikat tersebut banyak dibeli untuk dibawa pulang oleh wisatawan
asing sebagai buah tangan, ini berarti kain tenun ikat tradisional memberikan
tambahan penghasilan bagi penenun. Harga kain tenun ikat tradisional antara Rp.
100.000,- dalam bentuk selendang dengan motif yang beragam,dan harga termahal dapat
mencapai Rp. 3.000.000,- dalam bentuk sarung perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar